Kamis, 11 Desember 2008

Protein Requirement of Japanese quail (Coturnix coturnix japonica) During Rearing and Laying Periods

ABSTRACT
Two completely randomized trials were conducted to estimate protein requirements of Japanese quails during the rearing and laying periods. In each trial, 150 quails were distributed in five treatments with five repetitions. Crude protein levels in the rearing period were 18, 20, 22, 24 and 26% (Trial 1) and during the laying period were 16, 18, 20, 22 and 24% (Trial 2). A quadratic effect of protein level was observed on weight gain from seven to 35 days (Trial 1). There were no effects of protein levels on feed intake and feed conversion. Protein levels in experimental diets during rearing had no effect on egg production up to 63 days. However, laying was delayed and variation in body weight was greater in quails fed lower protein levels. In Trial 2, a quadratic effect of protein levels was seen on egg production and feed conversion; and a linear effect was seen on mean egg weight and feed intake. Crude protein levels of 23.08% and 21.95% were estimated by regression equations for rearing and laying, respectively.
INTRODUCTION
Quail production has shown increasing importance in Brazil because quails show early sexual maturity and have small body size, which results in lower necessity of housing space and feed. However, most of the data on nutritional requirements were obtained in other countries that have different climatic conditions, preventing that an adequate feeding program is established. It is important to determine more precisely the nutritional requirement of quails raised in recommended by NRC (1994) for quails in the rearingBrazil. Although data not produced in our country can be used in feed formulation for quails, this might result in lower productivity and poor economic performance due to the use of a possible excess of some nutrients in the diet. Protein of high quality with adequate amino acid balance is one of the most important nutrients for quails. It is also one of the most expensive nutrients. Excessive protein intake results in higher nitrogen excretion and lower feed efficiency for egg production. Four crude protein levels (20, 22, 24 and 26%) were evaluated for Japanese quails and it was concluded that after lysine and methionine + cystine requirements were met, 20% crude protein level resulted in best performance from 1 to 42 days of age (Murakami et al., 1993a). Hyankova et al. (1997) reported that Japanese quails fed 26 and 21.6% crude protein had good performance from 1 to 21 and from 22 to 35 days of age, respectively. Thus, requirements decrease with age, similar to other animal species. During the laying period, Murakami et al. (1993b) recommended 18% of crude protein, which is lower than the level of 22.42% recommended by Pinto et al. (1998). Levels of 24 and 20% of crude protein are and production periods, respectively. The objective of this research was to estimate crude protein requirements of Japanese quails in the growing and laying periods.


Full Teks PDF HTML info Eko_veterinary@yahoo.com

Jumat, 21 November 2008



TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH
MANAJEMEN TERNAK POTONG
“Analisis Usaha Penggemukan Sapi Potong Peranakan Ongole Untuk Memenuhi Kebutuhan Konsumsi Daging Masyarakat”


OLEH
EKO BUDI SANTOSO
(0510510025)


JURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2007



PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Pembibitan sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha penggemukan sapi potong di Indonesia. Selain itu, sapi asal impor dari Australia juga merupakan sumber sapi bakalan yang makin penting bagi usaha penggemukan, walaupun perannya masih relatif kecil (Hadi et al., 1999a). Hal ini menunjukkan bahwa sumber utama daging sapi bagi konsumsi nasional masih tergantung pada usaha pembibitan di dalam negeri yang berupa peternakan rakyat. Sampai saat ini belum ada perusahaan swasta atau perusahaan negara yang bergerak di bidang pembibitan sapi potong karena usaha tersebut dinilai kurang menguntungkan (Hadi dan Ilham, 2000). Biro Pusat Statistik (1997) menunjukkan bahwa konsumsi daging sapi per kapita rata-rata meningkat dari 0,31 kg pada tahun 1990 menjadi 0,62 kg pada tahun 1996. Selanjutnya Hadi et al. (1999) memproyeksikan bahwa total permintaan daging sapi untuk konsumsi langsung dan industri pengolahan makanan secara nasional akan meningkat dari 197.890 ton pada tahun 2000 menjadi 249.730 ton pada tahun 2003. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang terus meningkat dilakukan impor ternak hidup dan daging. Hadi et al. (1999) memproyeksikan bahwa impor ternak bakalan dan daging sapi masing-masing akan mencapai 446.225 ekor dan 23.520 ton pada tahun 2003. Jika impor tersendat, misalnya karena depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang cukup tajam, dikhawatirkan populasi sapi lokal akan makin cepat terkuras. Banyaknya kasus pemotongan sapi betina produktif akhirakhir ini merupakan indikasi adanya pengurasan ternak sapi lokal (Hadi et al., 2002). Meningkatnya impor tersebut merupakan indikasi kuat adanya peluang pasar bagi pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia.

TUJUAN
1) Mengidentifikasi karakteristik umum usaha pembibitan sapi potong rakyat,
2) Menganalisis kelayakan finansial usaha pembibitan versus usaha penggemukan sapi potong
rakyat, dan Mengidentifikasi masalah dan prospek usaha pembibitan sapi potong
3) Mengidentifikasi bangsa-bangsa sapi yang mempunyai prospek ekonomi yang baik untuk
dikembangkan,
4) Memberikan saran kebijakan pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Umum Usaha Pembibitan Sapi Potong Rakyat
Tujuan Pemeliharaan Sapi Potong
Tujuan pemeliharaan sapi potong oleh peternakan rakyat adalah untuk pembibitan (reproduksi) dan penggemukan (Prasetyo, 1994). Usaha pembibitan umumnya dilakukan di daerah dataran rendah dengan ketersediaan pakan relatif kurang, sedangkan usaha penggemukan banyak terdapat di daera dataran tinggi dengan ketersediaan pakan relatif cukup. Di Jawa Tengah, misalnya, daerah Grobogan, Pati, Blora, dan Rembang merupakan daerah dataran rendah dengan ketersediaan pakan relative kurang sehingga usaha pembibitan lebih sesuai dibandingkan dengan usaha penggemukan. Sebaliknya, daerah Wonosobo dan Salatiga merupakan daerah dataran tinggi dengan ketersediaan pakan relative cukup sehingga lebih sesuai untuk usaha penggemukan.
Hal serupa juga terjadi di Jawa Timur. Daerah Tuban, Lamongan, dan Probolinggo merupakan dataran rendah dengan ketersediaan pakan relative kurang, sedangkan daerah Magetan dan Malang merupakan dataran tinggi dengan ketersediaan pakan relatif cukup (Hadi et al., 2002). Pemeliharaan dengan pola seperti di atas berkaitan dengan kebutuhan pakan ternak. Usaha pembibitan relatif tidak memerlukan banyak pakan karena tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan pedet, sedangkan penggemukan memerlukan lebih banyak pakan karena tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan daging. Namun demikian untuk usaha pembibitan, selama masa kebuntingan terutama pada minggu ketiga terakhir dan selama masa laktasi, ternak memerlukan pakan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai agar pertumbuhan janin dan pedet selama prasapih tetap normal (Roy, 1959). Dengan pakan yang cukup, pedet akan mempunyai bobot badan normal dan tumbuh sehat. Menurut Lebdosukoyo et al. (1979), sapi induk yang sedang menyusui, terutama yang digunakan sebagai hewan kerja untuk mengolah
tanah, memerlukan energi dan fosfor dalam jumlah cukup agar produktivitasnya tidak terganggu. Namun, pemberian pakan yang berlebihan dapat menyebabkan kegemukan, dan sebaliknya pemberian pakan yang kurang dapat menghambat aktivitas reproduksi (Toelihere, 1981).



Skala Usaha
Jumlah pemilikan induk sapi untuk pembibitan umumnya sangat kecil. Di daerah pertanian intensif seperti Kabupaten Grobogan dan Wonosobo, ratarata pemilikan sapi induk berkisar 13
ekor/petani (Hadi dan Ilham, 2000). Hal serupa juga terjadi di kabupatenkabupaten lain, seperti Lampung Tengah, Lamongan, Magetan, Lombok Barat, dan Maros (Hadi et al., 2002). Di daerah
dengan pola pemeliharaan sapi secara ekstensif atau dilepas, pemilikan sapi potong bisa mencapai ratusan ekor, seperti di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (Hadi dan Purwantini, 1991a; Hadi et al., 2002), Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur (Hadi dan Purwantini, 1991b) dan Barru di Sulawesi Selatan (Hadi et al., 2002). Kecilnya skala usaha pemeliharaan sapi di daerah pertanian intensif disebabkan peternakan merupakan usaha yang dikelola oleh rumah tangga petani, dengan modal, tenaga kerja, dan manajemen yang terbatas. Kecilnya pemilikan ternak juga karena umumnya usaha pembibitan atau penggemukan merupakan usaha sampingan, selain usaha tani utama seperti padi, palawija, sayuran atau tanaman perkebunan. Di daerah pertanian ekstensif, cukup besarnya skala usaha disebabkan padang rumput untuk penggembalaan cukup tersedia, sehingga kebutuhan tenaga kerja dan biaya pakan dapat dikatakan hampir mendekati nol (Hadi dan Purwantini, 1991a; 1991b; Hadi et al., 2002).
Reproduksi
Teknik reproduksi sapi potong terdiri atas Inseminasi Buatan (IB) dan perkawinan alami. Di daerah-daerah pertanian intensif, IB makin populer karena terbatasnya sapi pejantan dan adanya pelayanan IB dari Dinas Peternakan setempat (Hadi dan Ilham, 2000; Hadi et al., 2002). Umumnya bangsa sapi yang digunakan adalah Peranakan Ongole (PO), baik induk maupun semennya. Di samping itu, akhir-akhir ini juga terjadi peningkatan permintaan terhadap sapi bakalan peranakan bangsa sapi berproduktivitas tinggi, seperti Simmental dan Charolise, yang perkawinannya hanya dapat dilakukan melalui IB. Namun, untuk perkawinan pertama, sebagian
peternak masih menerapkan IB dengan sapi sebangsanya, yaitu sapi PO. Hal ini karena sapi induk PO yang masih dara akan mengalami kesulitan dalam melahirkan anak pertama jika menggunakan semen Simmental atau Charolise karena ukuran anaknya lebih besar. Akibatnya, induk atau anaknya bisa mati atau terjadi perusakan peranakan (prolapsus uteri) yang mengganggu proses kelahiran berikutnya. Setelah kelahiran pertama, IB dengan semen Simmental atau Charolise dapat dilakukan.
Di daerah-daerah pertanian ekstensif, perkawinan alami lebih dominan daripada IB karena pejantan cukup tersedia dan terbatasnya pelayanan IB. Jenis sapi yang dikembangkan adalah Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat (Hadi dan Purwantini, 1991a; Hadi et al., 2002) dan Sulawesi Selatan (Hadi et al., 2002) serta Sumba Ongole (SO) di Nusa Tenggara Timur (Hadi dan Purwantini, 1991b). Angka rasio pelayanan kawin per kebuntingan ("service per conception ratio" = S/C) pada IB masih cukup tinggi, yang menunjukkan kurang berhasilnya IB. Sebagai contoh, rata-rata S/C di daerah Wonosobo adalah 0,60, di Kecamatan Kalikajar (Wonosobo) 0,20, dan di daerah Grobogan 2,60 (Hadi dan Ilham, 2000). Hasil penelitian Subiharta et al. (2000) juga menunjukkan bahwa S/C di daerah Grobogan hanya 0,68. Penyebab tingginya angka S/C antara lain adalah:
1) petani terlambat mendeteksi saat berahi atau terlambat melaporkan berahi sapinya kepada petugas inseminator,
2) adanya kelainan pada alat reproduksi induk sapi,
3) inseminator kurang terampil,
4) Fasilitas pelayanan inseminasi terbatas, dan
5) kurang lancarnya transportasi. Masalah tersebut menyebabkan sebagian peternak belum pernah menggunakan IB.
Di daerah Wonosobo misalnya, dari 8 pos IB yang sudah ada di Kecamatan Kalikajar, hanya 5 pos yang sudah beroperasi, sedangkan sisanya masih pada taraf introduksi (Hadi dan Ilham, 2000). Jarak waktu beranak ("calving interval") juga terlalu panjang. Idealnya, jarak waktu beranak adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui (Toelihere et al., 1980). Dalam kenyataan, jarak waktu antara melahirkan dan kawin lagi ("post partum mating") terlalu panjang, 4,50 bulan, seperti yang terjadi di daerah Grobogan (Hadi dan Ilham, 2000; Subiharta et al., 2000). Hal ini mencerminkan produktivitas usaha pembibitan masih rendah. Tingkat kematian ("mortality rate") pedet prasapih juga tinggi, bahkan ada yang mencapai 50% (Hadi dan Ilham, 2000). Masalah ini biasanya bersumber dari kualitas pakan induk yang kurang baik, terutama pada saat bunting tua dan menyusui, adanya serangan parasit, dan manajemen perkawinan yang belum memadai (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 1992). Rendahnya produktivitas sapi pembibitan seperti ini menyebabkan kebutuhan sapi bakalan bermutu tinggi belum dapat terpenuhi. Hal tersebut juga mencerminkan lemahnya program perbaikan mutu genetik sapi potong.
Pemilihan Bangsa Sapi
Pemilihan bangsa sapi berkaitan dengan permintaan bakalan untuk usaha penggemukan (Hadi dan Ilham, 2000). Di sebagian besar wilayah Indonesia, populasi sapi PO masih sangat dominan karena pada awalnya daerah tersebut merupakan basis lokasi pengembangan bangsa sapi tersebut. Namun di beberapa daerah seperti Wonosobo, Grobogan, Salatiga, dan Magetan, pengusahaan bangsa sapi lain seperti Brahman, Peranakan Friesh Holland (PFH), Peranakan Charolise, Peranakan Hereford, dan Peranakan Simmental mulai berkembang walaupun populasinya masih mjauh lebih sedikit (Hadi et al., 2002). Meskipun harga sapi bakalan Peranakan Simmental dan Peranakan Charolise jauh lebih mahal dibanding PO, minat peternak dalam usaha penggemukan dua bangsa sapi tersebut makin besar karena pertambahan bobot badan harian ("Average Daily Gain" = ADG), tingkat konversi pakan ("feed conversion rate"),
dan komposisi karkas lebih tinggi dengan komponen tulang lebih rendah (Hadi dan Ilham, 2000). Karakteristik demikian juga dipunyai oleh bangsa sapi PFH dan Peranakan Hereford.
Hasil penelitian Wiguna et al. (1982) menunjukkan bahwa ADG anak sapi hasil persilangan antara Brahman dan PO lebih tinggi dibanding anak sapi persilangan PO murni, masing-masing 0,47 kg dan 0,44 kg di daerah Playen serta 0,43 kg dan 0,41 kg di daerah Wates, Yogyakarta. Keuntungan yang dapat diperoleh dari usaha penggemukan sapi bakalan hasil persilangan tersebut lebih besar daripada hasil perkawinan PO murni. Subiharta et al. (2000) menunjukkan bahwa sapi peranakan Limousine dan peranakan Simmental (induk berasal dari PFH atau peranakan Simmental) dapat mencapai ADG jauh lebih besar, yaitu masingmasing 1,18 kg (kisaran 0,801,60 kg) dan 0.90 kg (kisaran 0,701,30 kg). Penelitian Usri et al. (1979) menunjukkan bahwa bobot badan sapi hasil persilangan antara pejantan Charolise dan induk PO sampai umur 12 bulan lebih tinggi dibanding sapi hasil persilangan antara pejantan Brahman dan induk PO, tetapi pada umur 18 dan 24 bulan terjadi hal yang sebaliknya. Hal tersebut disebabkan sapi hasil persilangan antara pejantan Charolise dan induk PO digunakan sebagai hewan kerja untuk mengolah tanah dengan pemberian pakan terbatas sehingga tidak sesuai dengan peruntukan dan adaptasi lingkungannya. Fenomena yang sama juga terjadi pada pedet sapi hasil persilangan antara pejantan Limousine dan induk PO. Sampai umur sapih (205 hari), pedet tumbuh lebih baik dibandingkan dengan pedet hasil persilangan antara pejantan Brahman dan induk PO (Talib, 1990). Namun, karena pedet hasil persilangan antara pejantan Brahman dan induk PO lebih mampu beradaptasi dan tumbuh baik pada lingkungan di daerah Bojonegoro dan Magetan, ADG selama pascasapih dan bobot badan pada umur satu tahun lebih besar dibanding pedet hasil persilangan antara pejantan Limousine dan induk PO (Talib, 1991). Perbedaan ADG tersebut mempengaruhi harga jual sapi. Makin tinggi ADG, makin tinggi pula harga sapi. Sapi Peranakan Simmental, PFH dan Limousine mempunyai ADG masing-masing 1,18 kg, 1,32 kg, dan 0,90 kg (Subiharta et al., 2000). Berdasarkan potensi genetik, sapi Simmental mempunyai ADG sangat tinggi, yaitu 1,60 kg (Sugeng, 1998), sedangkan sapi PO hanya mempunyai ADG 0,40 kg (Dinas Peternakan Jawa Tengah, 1998, dikutip oleh Subiharta et al., 2000). Pemilihan jenis sapi bakalan Peranakan Simmental oleh peternak dinilai tepat karena sapi tersebut merupakan tipe pedaging dengan ADG sangat tinggi, bobot hidupnya mencapai 1,15 ton, dan kualitas dagingnya memenuhi standar internasional dengan kandungan lemak rendah (Sugeng, 1998). Pergeseran minat peternak dalam penggemukan sapi lokal ke sapi bakalan Peranakan Simmental di dataran tinggi seperti Wonosobo juga didorong oleh beberapa faktor, yaitu:
1) adanya pergeseran minat jagal atau pedagang ke arah bangsa sapi Peranakan Simmental karena dapat memberikan keuntungan financial jauh lebih besar,
2) tersedianya bahan pakan ternak lokal yang memadai sepanjang tahun baik kuantitas dan kualitas,
3) adanya lomba atau kontes keunggulan sapi yang diadakan pemerintah sekali setiap tahun yang dapat meningkatkan harga sapi yang menang dan mengharumkan nama peternaknya,
4) defisit produksi daging sapi yang cukup besar, terbukti dari banyaknya sapi yang didatangkan dari luar daerah seperti Batang, Grobogan, Ambarawa, Boyolali, dan DI Yogyakarta sekitar 2.000 ekor/ tahun (Hadi dan Ilham, 2000) Makin besarnya minat usaha penggemukan sapi Peranakan Simmental ini menyebabkan terjadinya pergeseran permintaan terhadap sapi bakalan ke arah bangsa sapi tersebut.
Perubahan ini perlu diantisipasi peternak pembibitan ("breeder") dengan menyesuaikan usahanya ke arah pembibitan bangsa sapi tersebut. Namun, peternak yang modalnya terbatas lebih memilih mengusahakan bangsa sapi PFH yang harga sapi bakalannya lebih murah dibanding Peranakan Simmental. Dengan menggunakan sapi bakalan PFH, skala pemeliharaan bisa meningkat dari rata-rata 2 ekor menjadi 35 ekor/petani (Hadi dan Ilham, 2000). Oleh karena itu, bangsa sapi Peranakan Simmental dan PFH di daerah-daerah tertentu, terutama di dataran tinggi, diperkirakan akan berkembang lebih pesat menggantikan bangsa sapi lokal dan lainnya yang lebih rendah produktivitasnya.
Pemeliharaan Ternak
Di daerah pertanian intensif, sebagian peternak memelihara sapi dalam kandang permanen, namun ada juga yang menggunakan kandang sederhana. Kapasitas kandang bervariasi sesuai dengan jumlah sapi yang dipelihara. Pengandangan dilakukan agar sapi tidak mengganggu pertanaman karena lokasi usaha berada di daerah pertanian intensif yang pada umumnya tidak mempunyai tempat penggembalaan (Hadi dan Ilham, 2000). Di daerah pertanian ekstensif, ternak sapi umumnya cukup digembalakan karena lapangan penggembalaan umum tersedia luas (Hadi dan Purwantini, 1991a; 1991b; Hadi et al., 2002). Peternak pembibitan di daerah pertanian intensif umumnya menggunakan sistem kereman sehingga sapi induk cepat menjadi gemuk. Namun, induk yang terlalu gemuk bisa terganggu proses reproduksinya atau menyebabkan kemajiran. Setelah melahirkan anak kedua, sapi induk tidak bunting lagi walaupun sudah dilakukan IB beberapa kali (Hadi dan Ilham, 2000). Peternak biasanya menjual sapi yang majir sebagai sapi potong. Untuk menghindari pemotongan sapi induk yang majir, petugas IB berupaya melakukan penyuntikan tepat waktu sesuai dengan saat berahi sapi. Penggunaan preparat hormon tidak dilakukan karena biayanya terlalu mahal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyuluhan tentang cara pemeliharaan induk sapi secara tepat.
Pola pengandangan ternak pada usaha pembibitan umumnya bersifat perseorangan karena pemilikan sapi induk relatif kecil. Beberapa peternak yang melakukan usaha penggemukan menggunakan kandang kolektif. Cara ini dinilai dapat memberi beberapa keuntungan, antara lain:
1) mendorong saling tukar informasi antarpetani,
2) mempermudah pengawasan terhadap kesehatan dan perkembangan bobot badan ternak,
3) meningkatkan total skala usaha pemeliharaan (Hadi dan Ilham, 2000), dan
4) mencegah terjadinya pencurian ternak (Hadi et al., 2002).
Pada umumnya, kandang perseorangan berlokasi di dekat rumah tempat tinggal, sedangkan kandang kolektif berada di ladang yang memungkinkan pengangkutan pupuk kandang lebih mudah dan efisien. Di daerah pertanian intensif, jenis pakan terdiri atas hijauan dan konsentrat, namun sebagian besar berupa pakan hijauan, terutama pada usaha pembibitan. Pakan hijauan yang merupakan sumber serat kasar, berasal dari rumput segar (rumput raja) yang ditanam pada pematang sawah atau lahan lainnya, serta sisa-sisa tanaman, seperti jerami padi, jerami jagung atau jerami kacang-kacangan, (Hadi dan Ilham, 2000). Di daerah Wonosobo misalnya, sesuai dengan kondisi alamnya yang dingin dan basah, hijauan pakan ternak cukup tersedia. Pakan konsentrat, terutama untuk penggemukan, terbuat dari bahan padat energi, seperti bekatul, jagung, ubi kayu, ampas ubi kayu, dan ampas tahu. Di daerah Wonosobo, peternak sudah terbiasa menggunakan campuran dedak padi dan ubi kayu yang dicincang dan sebagian peternak membeli konsentrat yang siap pakai. Di daerah pertanian ekstensif, rumput alam merupakan satu-satunya sumber pakan ternak (Hadi dan Purwantini, 1991a; 1991b). Untuk mencegah timbulnya gangguan penyakit, di daerah pertanian intensif dilakukan pengobatan dengan dibantu Dinas Peternakan setempat. Di daerah tertentu, seperti Kecamatan Kalikajar (Wonosobo), sekali setahun ternak dikumpulkan di lapangan dalam acara selamatan atau kontes ternak. Pada saat itu, sapi yang dipamerkan diberi pengobatan gratis oleh Dinas Peternakan setempat. Oleh karena itu, di daerah Wonosobo secara umum tidak ada penyakit serius pada ternak sapi, kecuali gangguan reproduksi dan kurangnya nafsu makan pada sapi induk (Hadi dan Ilham, 2000). Di daerah pertanian ekstensif, karena ternak sapi dilepas maka peternak hampir tidak pernah melakukan pengawasan terhadap kesehatan ternaknya (Hadi dan Purwantini, 1991a; 1991b).





ANALISIS USAHA

Dengan melihat beberapa kendala serta peluang usaha diatas UPTD Singosari sebagai salah satu pusat pembibitan di Jawa Timur mengembangkan sistim usaha penggemukan sapi potong. UPTD Singosari merupakan pusat pembibitan kambing yang sangat maju tetapi tidak menutup suatu kemungkinan untuk mengembangkan komoditas ternak lain sebagai pendapatan tambahan. Selain itu usaha penggemukan sapi yang dilakukan di UPTD singosari juga bertujuan untuk memnuhi kecukupan daging masyarakat yang semakin tinggi. Usaha penggemukan sapi yang dilakukan yaitu dengan system kereman yang menggunakan kandang individu yang berprinsip mengurangi gerak dari sapi agar energy yang didapat digunakan untuk produksi daging.
Di Indonesia terdapat bermacam-macam bangsa sapi yang dapat dipelihara dengan system kereman, baik sapi tipe pedaging (beef cattle) maupun sapi perah (dayri cattle). Bangsa sapi untuk digemukkan idealnya dipilih dari sapi-sapi yang mempunyai penampilan baik yaitu secara genetis badannya besar. Tetapi dalam proses penggemukan ini sapi jenis kecilpun dapat digemukkan asalkan keuntungan yang akan diperoleh cukup memadai karena harga sapi yang kecil biasanya relative lebih murah. Tujuan dari usaha sapi kereman ini adalah memproduksi karkas dengan berat yang optimum, mutu daging yang baik dan mudah dijual dengan harga yang tinggi, sehingga dapat memperoleh keuntungan yang maksimal. Pada penggemukan yang dilakukan di UPTD Singosari sapi yang dipilih adalah sapi PO.
Sapi Po dipilih karena sapi PO harganya relaif lebih murah sedangkan sapi PO mempunyai adaptasi lingkungan yang baik. Sapi PO dapat menerima makanan yang mutunya rendah tetapi pertumbuhannya tetap yang dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel.1. PBBH dan berat akhir pada pemeliharaan sapi selama 5 bulan


BANGSA PERTAMBAHAN BERAT (KG/HARI) BERAT AKHIR (KG)
Madura 0.600 324.3
PO 0.75 395.7
Bali 0.66 334.7
Grati 0.90 425.4

Moran(1978)

Tabel 2. Data beberapa karakteristik produksi sapi PO

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi PO tanggap terhadap perubahan maupun perbaikan pakan dengan menunjukkan pertambahan bobot badan harian yang berbeda. Berikut ini adalah data sifat produksi sapi PO yang dapat dikumpulkan dari hasil penelitian yang telah dilaporkan (Tabel 2). Pada Tabel 2 tersebut terlihat bahwa potensi karakteristik produksi sapi PO menunjukkan rentang yang cukup luas. Beberapa data hasil penelitian seperti pertambahan bobot badan harian menunjukkan potensi sapi PO yang cukup baik meskipun tanpa sentuhan seleksi , dan hanya karena pengelolaan dan perbaikan pakan. Oleh karena itu perlu diketahui baku pengelolaan lingkungan untuk dapat mencapai produktivitas yang optimum.
Kandang dapat dibuat dalam bentuk ganda atau tunggal, tergantung dari jumlah sapi yang dimiliki. Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan pada satu baris atau satu jajaran, sementara kandang yang bertipe ganda penempatannya dilakukan pada dua jajaran yang saling berhadapan atau saling bertolak belakang. Diantara kedua jajaran tersebut biasanya dibuat jalur untuk jalan. Pembuatan kandang untuk tujuan penggemukan (kereman) biasanya berbentuk tunggal apabila kapasitas ternak yang dipelihara hanya sedikit. Namun, apabila kegiatan penggemukan sapi ditujukan untuk komersial, ukuran kandang harus lebih luas dan lebih besar sehingga dapat menampung jumlah sapi yang lebih banyak.
Lantai kandang harus diusahakan tetap bersih guna mencegah timbulnya berbagai penyakit. Lantai terbuat dari tanah padat atau semen, dan mudah dibersihkan dari kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami kering sebagai alas kandang yang hangat. Seluruh bagian kandang dan peralatan yang pernah dipakai harus disuci hamakan terlebih dahulu dengan desinfektan, seperti creolin, lysol, dan bahanbahan lainnya.
Ukuran kandang yang dibuat untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5x2 m atau 2,5x2 m, sedangkan untuk sapi betina dewasa adalah 1,8x2 m dan untuk anak sapi cukup 1,5x1 m per ekor, dengan tinggi atas + 2-2,5 m dari tanah. Temperatur di sekitar kandang 25-40 derajat C (rata-rata 33 derajat C) dan kelembaban 75%. Lokasi pemeliharaan dapat dilakukan pada dataran rendah (100-500 m) hingga dataran tinggi (> 500 m). Kandang untuk pemeliharaan sapi harus bersih dan tidak lembab. Pembuatan kandang harus memperhatikan beberapa persyaratan pokok yang meliputi konstruksi, letak, ukuran dan perlengkapan kandang.
1) Konstruksi dan letak kandang
Konstruksi kandang sapi seperti rumah kayu. Atap kandang berbentuk kuncup dan salah satu/kedua sisinya miring. Lantai kandang dibuat padat, lebih tinggi dari pada tanah sekelilingnya dan agak miring kearah selokan di luar kandang. Maksudnya adalah agar air yang tampak, termasuk kencing sapi mudah mengalir ke luar lantai kandang tetap kering. Bahan konstruksi kandang adalah kayu gelondongan/papan yang berasal dari kayu yang kuat. Kandang sapi tidak boleh tertutup rapat, tetapi agak
terbuka agar sirkulasi udara didalamnya lancar. Termasuk dalam rangkaian penyediaan pakan sapi adalah air minum yang bersih. Air minum diberikan secara ad libitum, artinya harus tersedia dan tidak boleh kehabisan setiap saat. Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter dan sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang. Pembuatan kandang sapi dapat dilakukan secara berkelompok di tengah sawah/ladang.
2) Ukuran Kandang
Sebelum membuat kandang sebaiknya diperhitungkan lebih dulu jumlah sapi yang akan dipelihara. Ukuran kandang untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5 x 2 m. Sedangkan untuk seekor sapi betina dewasa adalah 1,8 x 2 m dan untuk seekor anak sapi cukup 1,5x1 m.
3) Perlengkapan Kandang
Termasuk dalam perlengkapan kandang adalah tempat pakan dan minum, yang sebaiknya dibuat di luar kandang, tetapi masih dibawah atap. Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan yang diberikan tidak diinjakinjak/ tercampur kotoran. Tempat air minum sebaiknya dibuat permanen berupa bak semen dan sedikit lebih tinggi dari pada permukaan lantai. Dengan demikian kotoran dan air kencing tidak tercampur didalamnya. Perlengkapan lain yang perlu disediakan adalah sapu, sikat, sekop, sabit, dan tempat untuk memandikan sapi. Semua peralatan tersebut adalah untuk membersihkan kandang agar sapi terhindar dari gangguan penyakit sekaligus bisa dipakai untuk memandikan sapi.
Pemeliharaan
Pemeliharaan sapi potong mencakup penyediaan pakan (ransum) dan pengelolaan kandang. Fungsi kandang dalam pemeliharaan sapi adalah :
a) Melindungi sapi dari hujan dan panas matahari.
b) Mempermudah perawatan dan pemantauan.
c) Menjaga keamanan dan kesehatan sapi.
Pakan merupakan sumber energi utama untuk pertumbuhan dan pembangkit tenaga. Makin baik mutu dan jumlah pakan yang diberikan, makin besar tenaga yang ditimbulkan dan masih besar pula energi yang tersimpan dalam bentuk daging.
1) Sanitasi dan Tindakan Preventif
Pada pemeliharaan secara intensif sapi-sapi dikandangkan sehingga peternak mudah mengawasinya, sementara pemeliharaan secara ekstensif pengawasannya sulit dilakukan karena sapi-sapi yang dipelihara dibiarkan hidup bebas.
2) Pemberian Pakan
Pada umumnya, setiap sapi membutuhkan makanan berupa hijauan. Sapi dalam masa pertumbuhan, sedang menyusui, dan supaya tidak jenuh memerlukan pakan yang memadai dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Pemberian pakan dapat dilakukan dengan 3 cara: yaitu penggembalaan (Pasture fattening), kereman (dry lot faatening) dan kombinasi cara pertama dan kedua. Penggembalaan dilakukan dengan melepas sapi-sapi di padang rumput, yang biasanya dilakukan di daerah yang mempunyai tempat penggembalaan cukup luas, dan memerlukan waktu sekitar 5-7 jam per hari. Dengan cara ini, maka tidak memerlukan ransum tambahan pakan penguat karena sapi telah memakan bermacam-macam jenis rumput. Pakan dapat diberikan dengan cara dijatah/disuguhkan yang yang dikenal dengan istilah kereman. Sapi yang dikandangkan dan pakan diperoleh dari ladang, sawah/tempat lain. Setiap hari sapi memerlukan pakan kira-kira sebanyak 10% dari berat badannya dan juga pakan tambahan 1% - 2% dari berat badan. Ransum tambahan berupa dedak halus atau bekatul, bungkil kelapa, gaplek, ampas tahu. yang diberikan dengan cara dicampurkan dalam rumput ditempat pakan. Selain itu, dapat ditambah mineral sebagai penguat berupa garam dapur, kapus. Pakan sapi dalam bentuk campuran dengan jumlah dan perbandingan tertentu ini dikenal dengan istilah ransum. Pemberian pakan sapi yang terbaik adalah kombinasi antara penggembalaan dan keraman. Menurut keadaannya, jenis hijauan dibagi menjadi 3 katagori, yaitu hijauan segar, hijauan kering, dan silase. Macam hijauan segar adalah rumput-rumputan, kacang-kacangan (legu minosa) dan tanaman hijau lainnya. Rumput yang baik untuk pakan sapi adalah rumput gajah, rumput raja (king grass), daun turi, daun lamtoro. Hijauan kering berasal dari hijauan segar yang sengaja dikeringkan dengan tujuan agar tahan disimpan lebih lama. Termasuk dalam hijauan kering adalah jerami padi, jerami kacang tanah, jerami jagung, dsb. yang biasa digunakan pada musim kemarau. Hijauan ini tergolong jenis pakan yang banyak mengandung serat kasar. Hijauan segar dapat diawetkan menjadi silase. Secara singkat pembuatan silase ini dapat dijelaskan sebagai berikut: hijauan yang akan dibuat silase ditutup rapat, sehingga terjadi proses fermentasi. Hasil dari proses inilah yang disebut silase. Contoh-contoh silase yang telah memasyarakat antara lain silase jagung, silase rumput, silase jerami padi, dll.
Penyakit
1) Penyakit antraks
Penyebab: Bacillus anthracis yang menular melalui kontak langsung, makanan/minuman atau pernafasan. Gejala: (1) demam tinggi, badan lemah dan gemetar; (2) gangguan pernafasan; (3) pembengkakan pada kelenjar dada, leher, alat kelamin dan badan penuh bisul; (4) kadang-kadang darah berwarna merah hitam yang keluar melalui hidung, telinga, mulut, anus dan vagina; (5) kotoran ternak cair dan sering bercampur darah; (6) limpa bengkak dan berwarna kehitaman. Pengendalian: vaksinasi, pengobatan antibiotika, mengisolasi sapi yang terinfeksi serta mengubur/membakar sapi yang mati.
2) Penyakit mulut dan kuku (PMK) atau penyakit Apthae epizootica (AE)
Penyebab: virus ini menular melalui kontak langsung melalui air kencing, air susu, air liur dan benda lain yang tercemar kuman AE. Gejala: (1) rongga mulut, lidah, dan telapak kaki atau tracak melepuh serta terdapat tonjolan bulat berisi cairan yang bening; (2) demam atau panas, suhu badan menurun drastis; (3) nafsu makan menurun bahkan tidak mau makan sama sekali; (4) air liur keluar berlebihan. Pengendalian: vaksinasi dan sapi yang sakit diasingkan dan diobati secara terpisah.
3) Penyakit ngorok/mendekur atau penyakit Septichaema epizootica (SE)
Penyebab: bakteri Pasturella multocida. Penularannya melalui makanan dan minuman yang tercemar bakteri. Gejala: (1) kulit kepala dan selaput lender lidah membengkak, berwarna merah dan kebiruan; (2) leher, anus, dan vulva membengkak; (3) paru-paru meradang, selaput lendir usus dan perut masam dan berwarna merah tua; (4) demam dan sulit bernafas sehingga mirip orang yang ngorok. Dalam keadaan sangat parah, sapi akan mati dalam waktu antara 12-36 jam. Pengendalian: vaksinasi anti SE dan diberi antibiotika atau sulfa.
4) Penyakit radang kuku atau kuku busuk (foot rot)
Penyakit ini menyerang sapi yang dipelihara dalam kandang yang basah dan kotor. Gejala: (1) mula-mula sekitar celah kuku bengkak dan mengeluarkan cairan putih keruh; (2) kulit kuku mengelupas; (3) tumbuh benjolan yang menimbulkan rasa sakit; (4) sapi pincang dan akhirnya bisa lumpuh.
Pengendalian
Pengendalian penyakit sapi yang paling baik menjaga kesehatan sapi dengan tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan untuk menjaga kesehatan sapi adalah:
1) Menjaga kebersihan kandang beserta peralatannya, termasuk memandikan sapi.
2) Sapi yang sakit dipisahkan dengan sapi sehat dan segera dilakukan pengobatan.
3) Mengusakan lantai kandang selalu kering.
4) Memeriksa kesehatan sapi secara teratur dan dilakukan vaksinasi sesuai petunjuk.
BIAYA

ANALISIS USAHA PENGGEMUKAN 30 EKOR SAPI POTONG PERANAKAN ONGOLE SELAMA 3 BULAN DI UPTD SINGOSARI MALANG

A. MODAL TETAP
1. Pembuatan kandang dg. Kekuatan 5 tahun Rp. 15.000.000
2. Penyusutan kandang per 3 bulan Rp. 750.000

B. MODAL KERJA
1. Pembelian sapi : 30 ekor x (250 Kg x 9.000) Rp. 67.500.000
2. Pakan
- Rumput gajah : 25 Kg x 30 ekor x 90 hr x Rp.45 Rp. 3.037.500
- Bekatul : 2,5 Kg x 30 ekor x 90 hr x Rp.500 Rp. 3.375.000
- Ampas tahu : 10 Kg x 30 ekor x 90 hr x Rp.60 Rp. 1.620.000
- Tetes : 5% x 2,5 Kg x 30 ekor x 90 hr x Rp.1200 Rp. 405.000
- Urea 0.5% x 2,5 Kg x 30 ekor x 90 hr x Rp.1200 Rp. 40.500
3. Feed Additive
- Mineral 0,35 Kg x 30 ekor x 90 hr x Rp.1000 Rp. 135.000
- Bio N plus : 0,005 lt x 30 ekor x 45 hr x Rp.13000 Rp. 85.750
- B plek oral : 0,005lt x 30 ekor x 45 hr x Rp.18000 Rp. 121.500
4. Obat-obatan
- Obat cacing 30 ekor x 6.000 Rp. 180.000
- B plek injeksi : 0,01 lt x 12 x 30 ekor x Rp.26000 Rp. 93.600
- Antibiotic : 10% x 30 ekor x 3 x Rp.30000 Rp. 270.000
5. Tenaga kerja : 2 orang x Rp.200.000 x 3 Rp. 1.200.000 +
Total Modal Kerja Rp. 78.065.850

C. MODAL YANG DIBUTUHKAN SELAMA 3 BULAN PERTAMA
Rp. 78.065.850 + Rp. 15.000.000 Rp. 93.065.850

D. PRODUKSI
Penjualan sapi : 30 ekor x (350 Kg x Rp. 9000) Rp. 94.500.000
E. BIAYA PRODUKSI SELAMA 3 BULAN
Rp. 750.000 + Rp. 78.065.850 Rp. 78.815.850
F. KEUNTUNGAN
Rp. 94.500.000 -- Rp. 78.815.850 Rp. 15.684.150

94.500.000
B/C RATIO = --------------- = 1,015
93.065.850
Artinya pada harga B/C ratio >1 usaha Fattening layak dilaksanakan dan memberikan keuntungan

750.000 750.000
B E P = ------------------------- = ----------------------- = 75.000.000
78.065.850 1 – 0,99
1 - ---------------------
78.815.850
Artinya pada tingkat penjualan Rp. 75.000.000 telah mencapai titik impas

Tambahan = keuntungan diatas belum termasuk dari kotoran yang dapat dijual atau dimanfaatkan untuk bio gas atau pupuk









DAFTAR PUSTAKA


Adnyana, M.O., M. Gunawan, N. Ilham, Saktyanu K. Darmoredjo, K. Kariyasa, I. Sadikin, A.
Djulin, K.M. Noekman, dan A.M. Hurun. 1996. Prospek dan Kendala Agribisnis
Peternakan dalam Era Perdagangan Bebas. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor. 314 hlm.
Biro Pusat Statistik. 1997. Survai Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS 1996). Biro Pusat
Statistik. Jakarta. 232 hlm.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1995. Identifikasi dan Kajian Agribisnis Peternakan di 13
Propinsi di Indonesia: Vol. III Buku I, III, dan IV. Nexus Indoconsultama. Jakarta. 467 hlm.
Hadi, P.U., A. Thahar, N. Ilham, and B. Winarso. 2002. A Progress report summary: analytic
framework to facilitate development of Indonesia’s beef industry. Paper Presented at the “Routine Seminar”. Center for Agro Socio Economic Research and Development. Bogor, 8 Maret 2002. 24 p.
Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2000. Peluang pengembangan usaha pembibitan ternak sapi potong di
Indonesia dalam rangka swasembada daging 2005. Makalah dipresentasikan dalam Pertemuan Teknis Penyediaan Bibit Nasional dan Revitalisasi UPT T.A. 2000. Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta, 11-12 Juli 2000. 22 hlm.
Hadi, P.U. dan T.B. Purwantini. 1991a. Kajian Pola Produksi Pertanian Lahan Kering di
Kabupaten Bima - Nusa Tenggara Barat. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 121 hlm.
Hadi, P.U. dan T.B. Purwantini. 1991b. Kajian Pola Produksi Pertanian Lahan Kering di
Kabupaten Sumba Timur - Nusa Tenggara Timur. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 239 hlm.
Hadi, P.U., H.P. Saliem, dan N. Ilham. 1999. Pengkajian konsumsi daging sapi dan kebutuhan
impor daging sapi Dalam Sudaryanto, T., IW. Rusastra, dan E. Djamal (Ed.). Analisis dan Perspektif Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pascakrisis Ekonomi. Monograph Series. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (20): 289-312.
Hadi, P.U., D. Vincent, and N. Ilham. 1999a. The impact of the economic crisis on Indonesia’s
beef sector In Simatupang, P., S. Pasaribu, S. Bahri, and R. Stringer (Eds.). Indonesia’s Economic Crisis: Effects on Agricultural and Policy Responses. Published for CASER by Centre for International Economic Studies, University of Adelaide, Australia. p. 303-331.
Hadi, P.U., D. Vincent, and N. Ilham. 1999b. A Framework for Policy Analysis of the
Indonesian Beef Industry. A Collaborative Research Between Center for Agro Socioeconomic Research in Bogor and Centre for International Economics in Canberra. 121p.
Ilham, N. 1995. Strategi pengembangan ternak ruminansia di Indonesia ditinjau dari segi
potensi sumber daya pakan dan lahan. Forum Agro Ekonomi 13(12): 33-43. Lebdosukoyo, S., S. Priyono, R. Utomo, dan S. Reksohadiprodjo. 1979. Status gizi sapi-sapi induk di Playen dan Cangkringan D.I. Yogyakarta. Prosiding Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor. hlm. 171-175.
Prasetyo, T. 1994. Perbaikan Manajemen dan Teknologi Penggemukan Sapi di Lahan Kering
DAS Jratunseluna dan Brantas Bagian Hulu. Majalah Ilmiah Universitas Semarang Edisi Khusus. hlm. 16-23. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 1992. Penelitian Pengembangan Teknologi Peternakan di Daerah Padat Penduduk (Jawa). P4N Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. 99 hlm.
Roy, J.H.B. 1959. The Calf : Its Management, Feeding and Health. 2nd. Farmer and Stock-
Breeder Publication, London. 126 p.
Subiharta, U. Nuschati, B. Utomo, D. Pramono, S. Prawirodigdo, T. Prasetyo, A. Musofie,
Ernawati, J. Purmiyanto, dan Suharno. 2000. Laporan Hasil Kegiatan Pengkajian Sistem Usaha Tani Pertanian Sapi Potong di Daerah Lahan Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran. Semarang. 24 hlm.
Sugeng, Y.B. 1998. Sapi Potong: Pemeliharaan, Perbaikan Produksi, Prospek Bisnis, Analisis
Penggemukan. Penebar Swadaya. Jakarta. 32 hlm.
Talib, C. 1990. Produktivitas pedet peranakan Ongole dan silangannya dengan Brahman dan
Limousin, pertumbuhan pada umur 120 hari sampai umur 205 hari. Ilmu dan
Peternakan 4(3): 315-318.
Talib, C. 1991. Produktivitas pedet peranakan Ongole dan silangannya dengan Brahman dan
Limousin, pertumbuhan pada umur 205 hari sampai 365 hari. Ilmu dan Peternakan 4(4): 384-388.
Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkara. Bandung. 213 hlm.
Toelihere, M.R., T.L. Yusuf, dan M.B. Taurin. 1980. Inseminasi Buatan. Ed.6. Departemen Reproduksi, Institut Pertanian Bogor. 81 hlm.
Usri, N., M. Tabrani, dan M.P. Rukmana. 1979. Perbandingan berat badan sapi persilangan
antara PO dengan Brahman dan Persilangan PO dengan Charolise. Prosiding Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan. Badan Litbang Pertanian, Bogor. hlm. 321-323.
Wiguna, M.A., Soeharto P.R., dan Soekoharto. 1982. Pengaruh Hasil Keturunan Sapi
Inseminasi Buatan (IB) terhadap Perkembangan Peternakan sapi dan Pendapatan Petani Dalam Proceedings Seminar "Penelitian Peternakan". Cisarua 8-11 Februari. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 52-57.